19.2.07

Praktek Ijon, Pola Lama yang Masih Berkembang dalam Perdagangan Produk Pertanian Rakyat

Pak Kartawiraji (61 th) duduk termangu di gubug kecil di tengah ladangnya, pandangannya menyapu lembah. Ubi goreng dan teh "tubruk" yang dibekali istrinya tinggal sisa-sisa. Sore itu di ladangnya yang berada di lereng bukit berkumpul banyak orang di bawah pepohonan duku. Beberapa orang terlihat sedang memetik buah duku, sementara anak-anak kecil berkerumun di bawah memandang ke atas, mengikuti gerak orang yang berada di atas ranting. Nampaknya mereka tengah asyik menanti jatuhnya buah duku yang diambil dari para pemanen di atas, jika terdapat buah duku yang jatuh, akan diperebutkan beramai-ramai. “Sedang menunggu juragan selesai memanen.., mau minta sedikit untuk cucu …” gumam Pak Karta. Ternyata lima pohon duku miliknya sudah dibeli juragan sejak masih berbunga, atau dengan kata lain sudah diijonkan, sehingga dia dan keluarganya tak bisa puas menikmati hasil kebunnya sendiri. Untuk bisa menikmati hasil kebun, dia harus meminta kepada juragan, karena hasil panen itu sudah bukan menjadi haknya lagi. Walaupun sudah bukan menjadi haknya sejak tanaman berbunga, Pak Karta merasa bertanggungjawab untuk menjaga keutuhan dan memelihara tanaman yang berbuah sampai masanya dipetik, karena untuk itu dia sudah dibayar.

Menurut Faried Wijaya (1991), ijon merupakan bentuk perkreditan informal yang berkembang di daerah pedesaan. Transaksi ijon tidak seragam dan banyak variasinya, tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian” tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai. Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi, berkisar 10-40%. Umumnya pemberi kredit juga berfungsi sebagai pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang. Paktek ijon yang dilakukan pedagang/tengkulak hasil pertanian sudah mengakar dan menjadi bagian dari tradisi perdagangan hasil pertanian di pedesaan. Studi investigasi yang pernah dilakukan BABAD untuk menganalisis rantai pemasaran produk pertanian di Pasar Sokawera, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, menemukan bahwa praktek ijon pada komoditas buah dan rempah-rempah pertanian lahan kering melibatkan banyak aktor dalam satu mata rantai yang berperan sebagai distributor pinjaman sekaligus pengepul hasil pertanian dengan sistem multilevel. 

Tengkulak kabupaten memiliki “bawahan” beberapa tengkulak kecamatan. Tengkulak kecamatan memiliki beberapa “bawahan” tengkulak desa, begitu seterusnya sampai level dusun. Modal yang dipinjamkan sampai dengan petani merupakan milik pemodal besar, sementara tengkulak kecamatan, desa dan dusun hanya mendistribusikan saja. Petani tidak mengetahui pasti uang siapa yang sebenarnya dia pinjam. Siklus peredaran modal dimulai pada setiap awal musim produksi tiap jenis komoditas, misalnya ketika pohon petai mulai berbunga, maka saat itu pula modal pinjaman dari tengkulak besar digelontorkan. Jika dalam waktu berdekatan terdapat lebih dari satu jenis komoditas yang mulai berbunga, misalnya sedang musim duku, musim melinjo, dan musim pala berbunga, maka volume modal pinjaman yang beredar juga berlipat ganda. Di Kecamatan Somagede saja terdapat setidaknya 5 tengkulak besar yang menyalurkan pinjaman dan menampung pembelian komoditas gula kelapa, kelapa, pala, cengkih, melinjo, petai, duku, jengkol. Dari setiap tengkulak kecamatan memiliki “mitra” beberapa tengkulak di beberapa desa Petani meminjam uang dan mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan konsumtif dan jangka pendek. 

Budaya konsumerisme yang menggejala sampai pelosok pedesaan juga merupakan faktor pendorong maraknya sistem ijon. Dalam beberapa kasus, petani meminjam karena ada kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang meminjamkan uang dipandang sebagai penolong. Di tingkat desa dan dusun, hubungan petani dan tengkulak pengijon memang sangat pribadi dan patronase. Antara petani dan tengkulak merasa sebagai satu keluarga yang saling tolong menolong, dan saling menjaga kepercayaan. Hal ini yang jeli dimanfaatkan pemodal besar dari luar daerah sehingga eksploitasi yang dilakukan tersamarkan dengan hubungan kekeluargaan dan saling tolong menolong. Petani sendiri merasa dirugikan tetapi juga diuntungkan. Mereka merasa rugi karena seharusnya dia bisa mendapatkan hasil lebih jika tanamannya tidak diijonkan, namun mereka merasa untung juga dengan adanya pengijon, karena jika ada kebutuhan mendesak, mereka akan cepat mendapatkan uang. 

Prosedur pinjaman dengan sistem ijon memang mudah, luwes dan sangat informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis. Di Desa Kemawi contohnya, meskipun telah dibentuk Badan Kredit Desa (BKD) atas kerjasama Pemerintah Desa dan BRI Unit Somagede, ternyata petani kurang memanfaatkan keberadaannya untuk memperoleh pinjaman dengan alasan terlalu rumit dan prosedural, walaupun mereka mengetahui hitung-hitungan ekonomisnya akan lebih menguntungkan. Jadi maraknya ijon bukan sekedar derasnya modal yang ingin mengeksploitasi petani, namun juga karena persoalan budaya dan sesat pikir masyarakat. Tengkulak sebagai kreditor dan pembeli hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan tersebut didapt dari bunga dari pinjaman yang diberikan, dan keuntungan dari selisih harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tengkulak leluasa membeli harga petani dengan rendah karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai tarik ulur permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak dinikmati tengkulak/pengepul. 

Sebaliknya, petani akan dirugikan karena dia terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi, serta dirugikan untuk mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya. Upaya yang dilakukan untuk membebaskan petani dari jeratan ijon bukannya tidak dilakukan oleh pemerintah. Di setiap desa telah dibentuk Badan Kredit Desa dan inisiasi untuk membentuk koperasi pertanian sudah sering dilakukan. Namun jerat dan jaring sistem ijon ternyata sulit dipupuskan. Untuk mengurangi penderitaan petani dari sistem ijon, harusnya petani sendiri yang bangkit kesadarannya dan mulai merupah perilakunya. Hidup berhemat, menabung, memanfatkan fasilitas kredit yang diberikan pemerintah atau lembaga keuangan mikro lain, dan membentuk wadah bersama petani lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi produksi dan konsumsi. 

Sistem ijon merupakan permasalahan ekonomi pertanian yang sudah usang disebutkan di buku-buku pelajaran sejak sekolah dasar, dan ternyata hingga era kemajuan teknologi dan informasi, sistem ijon seakan menjadi bangunan tua nan kokoh yang tak runtuh-runtuh. Begitu lebarkah kesenjangan kesadaran dan pengetahuan masyarakat desa, begitu kuatkah mitos kekeluargaan dalam hubungan ekonomi antara petani dan tengkulak. Dahulu, petani mengijon karena memang tidak ada alternatif dalam pemasaran produk dan mendapat pinjaman. Namun setelah konteks sosiologis yang berubah, kondisi dan struktur ekonomi yang berubah, mengapa ijon masih menjadi pilihan padahal banyak alternatif tersedia bagi petani untuk tidak mengijon. Pembangunan infrastruktur pedesaan yang memudahkan distribusi barang dan jasa, akses informasi dan akses pasar yang cukup tersedia ternyata tidak merubah pilihan petani untuk mengijon. Apakah tengkulak dan pemodal lokal juga berhasil berbenah diri merubah pendekatan memasarkan ijon di era sekarang, atau jeratan hutang petani kepada tengkulak tak pernah putus sejak nenek moyangnya? Jawaban-jawaban pertanyaan itu yang belum selesai kami kami kaji sampai saat ini.[]

Kepustakaan: 
Dr. Faried Wijaya M., MA, “Perkreditan & Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan Kita”, BPFE Yoyakarta, 1991

Tidak ada komentar: