19.2.07

Mengkritisi Kebijakan Pencabutan Subsidi BBM

Memahami konteks munculnya kebijakan pencabutan subsidi BBM

Kenaikan harga BBM selalu menjadi perdebatan, pro dan kontra. Pemerintah merasa kebijakan subsidi BBM semakin membebani anggaran dan harus dikurangi secara bertahap, sementara di lain pihak, banyak yang menganggap subsidi BBM adalah kebijakan yang mendasar, sesuai amanat Undang-Undang, karena Indonesia bukanlah negara ekonomi liberal. Ada beberapa hal yang perlu kita pahami dahulu terkait rencana pemerintah untuk mencabut subsidi BBM. 

Pertama, situasi ekonomi politik dunia, dimana terdapat fenomena nyata bahwa neo liberalisme yang semakin kuat. Indikasinya adalah kebijakan-kebijakan ekonomi dunia sangat dipengaruhi oleh IMF, WB, dan WTO. Setiap negara (yang lemah posisi tawarnya) dipaksa untuk meratifikasi dan menerapkan kebijakan liberalisasi perekonomian, termasuk Indonesia yang posisi tawarnya sangat lemah karena jeratan hutang luar negeri. Kedua, terikatnya Indonesia dengan perjanjian-perjanjian global (seperti SAP WB, LoI IMF, Infrastructure Summit dll.), yang mengharuskan pemerintah untuk membuka pintu selebar-lebarnya untuk ekonomi pasar bebas, didukung dengan persiapan perangkat-perangkatnya.

Pembangunan infrastruktur, peluang investasi sektor publik dan jaminan akses swasta asing terhadap penguasaan sumber-sumber agraria diakomodasi untuk menarik investasi asing dengan munculnya kebijakan-kebijakan baru, misalnya dalam pengelolaan agraria dan SDA pemerintah telah mengeluarkan UU Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU Sumber Daya Air, dan UU No. 19/2004 yang membuka peluang penambangan di hutan lindung, dan terakhir dengan Perpres No. 36/2005 yang disinyalir hanya sebagai alat percepatan investasi. Kebijakan fiskal dan moneter juga diperbarui untuk mendukung dan menjamin perdagangan bebas seperti privatisasi dan pencabutan subsidi, dan munculnya rencana perubahan UU Investasi dan UU Perpajakan. Liberalisasi perdagangan (melalui privatisasi dan penghapusan subsidi) sudah merambah sektor layanan dasar publik yaitu pendidikan, kesehatan dan air bersih. Agenda selanjutnya adalah liberalisasi sektor migas, dimulai dengan dikeluarkannya UU No. 21/2001 (Migas) yang memungkinkan penguasaan sektor migas dalam negeri oleh perusahaan asing dari hulu sampai hilir.UU Migas sebelumnya (UU Pertambangan Migas No. 44 Prp/1960 dan UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara No. 8/1971 membatasi perusahaan asing hanya sebagai kontraktor eksplorasi. Kebijakan terbaru pro liberalisasi sektor Migas dapat dilihat pada kasus kontrak eksplorasi Blok Cepu oleh Exxon dengan munculnya PP No. 34/2005 yang mengamandemen PP. No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. 

Ketiga, krisis energi dunia akibat peningkatan konsumsi minyak bumi dan belum efektifnya penggunaan energi alternatif yang menyebabkan kenaikan harga minyak di tingkat dunia. Peningkatan konsumsi minyak dunia secara drastis dan peningkatan harga minyak disebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di China dan India dan maraknya diversifikasi produksi negara G-8 akibat persaingan internal antara mereka. Selain itu, krisisi energi dipicu menurunnya produksi minyak akibat hambatan proses produksi di beberapa negara produsen minyak (termasuk di Indonesia) baik akibat menurunnya cadangan minyak, gangguan alam, maupun krisis politik wilayah. Penyebab lainnya dikarenakan spekulasi karena minyak merupakan bursa komoditas, dimana para spekulan memainkan harga minyak dunia dengan mendramatisasi krisis minyak dunia. Kegiatan spekulasi minyak juga dipraktekkan di Indonesia melalui Bursa Komoditas Berjangka dengan memperjualbelikan Delivery Order (DO). Krisisi energi juga akibat kemapanan negara industri maju yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) yang memiliki cadangan BBM yang dapat digunakan selama 80 hari tanpa pasokan baru dari negara produsen (bandingkan dengan cadangan BBM kita yang hanya bisa untuk 20 hari). Dengan kemampuan tersebut, mereka dapat mengatur permainan harga minyak dunia. Contoh nyata, sebelum kenaikan harga minyak dunia yang terakhir, AS melakukan pembelian besar-besaran untuk meningkatkan demand.

Krisis energi juga dialami Indonesia akibat kegagalan kebijakan energi, baik dalam sektor migas, transportasi, dan pengembangan energi alternatif. Pertamina yang awalnya didorong sebagai perusahaan negara yang menjamin kedaulatan pengelolaan minyak dari hulu sampai hilir justru berkembang hanya menjadi agen dan partner lokal bagi perusahaan asing. Eksplorasi sumur minyak dalam negeri yang dikuasai penuh oleh Pertamina hanya sekitar 10%, dan produksi kilang minyak dalam negeri hanya bisa mencukupi 75-80 % kebutuhan. Kegagalan ini antara lain disebabkan kesalahan desain produksi kilang minyak nasional yang justru lebih cocok untuk pengolahan minyak asal Timur Tengah. Krisis energi juga terjadi dengan tingginya laju konsumsi minyak dalam negeri yang sampai 10% per tahun, terutama akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor (pribadi) yang tidak dikontrol oleh pemerintah.

Keempat, beban anggaran belanja pemerintah yang disebabkan oleh naiknya kurs US$, terutama untuk beban pembayaran hutang luar negeri dan belanja impor bahan baku dan barang modal. Pembayaran utang luar negeri tahun 2004 sebesar US$ 8 milyar, tahun 2005 sebesar US$ 5,3 milyar dan tahun 2006 diperkirakan sebesar US$ 10,4 milyar. Defisit pembayaran utang luar negeri tahun 2004 saja sebesar US$ 4,2 milyar. Sampai denganbulan Maret 2005, benan hutang luar negeri sudah mencapai 52% dari anggaran. Kelima, terjadinya inefisiensi dan kebocoran dalam pemerintahan akibat birokrasi yang korup dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Dalam sektor energi, terdapat banyak penyelewengan dan penyelundupan yang dilakukan baik oleh birokrasi, Pertamina, spekulan dan perusahaan nasional maupun asing. Keenam, konstelasi politik pemerintah SBY-MJK dan kabinetnya, dimana menteri-menteri perekonomian mewakili kepentingan-kepentingan pemodal. Menko Perekonomian AB dianggap mewakili unsur pengusaha pribumi (bersama gerbong KADIN-nya yang didukung MJK), sementara SM (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas) dan MEP (Menteri Perdagangan) dianggap mewakili kepentingan pasar bebas dan pemodal asing (yang direpresentasikan oleh IMF, WTO, WB). Dalam isu kenaikan harga BBM, kedua kubu tersebut menemukan titik temu, dimana masing-masing dapat memanfaatkan momentum untuk memuluskan kepentingan masing-masing.

Mengapa subsidi BBM harus dipertahankan?

Terdapat beberapa pandangan yang menilai bahwa subsidi BBM perlu dipertahankan sebagai berikut:

  1. Subsidi BBM merupakan bentuk subsidi tidak langsung yang menopang daya beli masyarakat, jika subsidi dicabut, maka daya beli masyarakat akan terpuruk. Kondisi perekonomian saat ini masih sangat memprihatinkan, dimana akibat privatisasi berbagai sektor publik, seperti kesehatan, pendidikan, air bersih dan saran umum lainnya sudah menindas kesejahteraan rakyat. BBM merupakan komponen harga kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, obat-obatan, layanan jasa dan pendidikan, juga komponen pokok tarif barang dan jasa lainnya seperti listrik, telekomunikasi dll. Kenaikan BBM akan memicu inflasi dan menambah jumlah penduduk miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka inflasi Maret saja mencapai 1,91 persen dan inflasi tiga bulan pertama tahun ini tercatat 3,19 persen.. Yang mengejutkan, inflasi tahunan (year on year) sudah di angka 8,81 persen. Pencapaian inflasi tahunan ini sudah jauh di atas target pemerintah?yang sudah diperbarui dalam APBN Perubahan 2005? menjadi 7 persen. Menurut Ketua BPS Choiril Maksum, inflasi sektor transportasi yang mencapai 10,03 persen menjadi penyumbang terbesar inflasi selama Maret. Kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada awal Maret memang menimbulkan efek domino yang cepat. Kenaikan harga BBM menyebabkan kenaikan ongkos pengangkutan barang dan pada ujungnya menyebabkan harga barang naik. Akibat kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005 ini inflasi pada akhir tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 11-12 %.Pernyataan pemerintah yang menyebutkan bahwa 83% subsidi BBM dinikmati oleh 60% penduduk kaya, sedangkan sisa 17 % hanya dinikmati 40% penduduk miskin yang dijadikan argumen pencabutan subsidi juga menyesatkan dengan hanya mengungkap fakta dari satu sisi. Kenyataan itu memang benar dan harus dikoreksi, dengan penerapan pajak tinggi atas barang-barang yang yang menyedot konsumsi BBM besar dan dimiliki orang kaya seperti mobil, dan barang-barang yang menyedot subsidi secara tidak langsung seperti AC, peralatan elektronik dll. Akan tetapi di sisi lain harus dilihat pula bahwa subsidi BBM menopang biaya transportasi umum, yang menjadi basis harga barang dan jasa yang sebagian besar dikonsumsi oleh rakyat banyak. Persoalan distribusi subsidi yang tidak adil harus dijawab dengan perbaikan mekanisme dalam penerapan subsidi BBM, bukan dengan mencabut subsidi BBM dan mengganti dengan subsidi lain yang tidak efektif dan tidak berimbang.
  2. Jumlah penduduk miskin saat ini sekitar 36 juta orang akan bertambah banyak, mengingat akibat kenaikan BBM bulan Maret saja jumlah penduduk miskin meningkat antara 10-20 %, dengan tingginya kenaikan BBM dan inflasi tahun ini jumlah penduduk miskin diperkirakan akan meledak sampai 70-80 juta orang, mengingat inflasi riil di lapangan bisa mencapai 20-30 %.
  3. Inflasi yang didorong kenaikan BBM akan memicu kenaikan suku bunga, yang juga akan membebani sektor usaha, terutama usaha kecil dan menengah. BI telah menaikkan suku bunga 100 basis poin menjadi 11 persen. Kenaikan SBI 1 % akan menaikkan suku bunga perbankan 2-3%, bahkan untuk BPR bisa mencapai 5 %. Tekanan bunga kredit dan tekanan input biaya akibat kenaikan harga barang dan jasa akan meyebabkan banyak perusahaan kecil dan menegah gulung tikar atau me-PHK-kan karyawannya, akibatnya pengangguran akan meningkat.
  4. Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil bumi termasuk minyak. Akan sangat ironis jika rakyatnya harus menderita akibat liberalisasi perdagangan minyak. Hal ini sangat bertolak belakang dengan mandat UUD pasal 33, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.. Upaya penghapusan subsidi merupakan penjajahan ekonomi neo liberalisme.

Mengapa kebijakan kenaikan BBM harus ditolak?

Pemerintah (terutama tim ekonominya) melakukan penyesatan informasi dan menyihir masyarakat dengan mengajukan argumentasi bahwa subsidi BBM menyebabkan defisit anggaran karena naiknya nilai US$ dan kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah juga membuat skenario yang menghipnotis masyarakat dengan kondisi-kondisi dan berita tentang kelangkaan minyak dan maraknya penyelundupan, kampanye tentang subsidi langsung dll. yang manipulatif sehingga masyarakat terpancing bahwa pencabutan subsidi merupakan solusi efektif.

Kejadian yang sesungguhnya adalah, Pemerintah mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pengelolaan negara yang sulit ditangani seperti krisis energi, penyelundupan, korupsi, dengan kebijakan yang tidak strategis dan merugikan masyarakat. Pemerintah mengambil jalan paling mudah dengan pencabutan subsidi BBM ketimbang berupaya keras untuk membangun sistem ekonomi yang lebih kuat. Kenaikan BBM juga ditengarai sebagai agenda tim ekonomi pemerintahan SBY-MJK untuk memuluskan kepentingan kelompoknya, dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak.

Beberapa argumentasi yang disampaikan pemerintah sebagai dalih menaikkan harga minyak sesungguhnya sangat mudah dipatahkan. Berikut ini beberapa hal pokok yang perlu menjadi kesadaran kita.

  1. Kenaikan Harga Minyak Dunia Tidak Membebani Defisit Anggaran. Revrisond Baswir, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, mengutarakan bahwa kenaikan harga minyak memang menaikkan subsidi BBM, tetapi juga menaikkan pendapatan ekspor dari migas, yang berarti, kenaikan subsidi BBM juga diimbangi oleh kenaikan pendapatan, sehingga anggaran aman. Surplus transaksi ekspor-impor migas tahun 2004 berjumlah US$6,5 milyar. Tahun 2005, dengan meningkatnya harga minyak mentah, surplus transaksi ekspor-impor migas meningkat menjadi US$9,8 milyar. Sedangkan tahun 2006, transaski ekspor-impor migas diproyeksikan surplus sebesar US$7,5 milyar. Bahkan, jika dilihat dari sudut peningkatan nilai ekspor dan nilai impor migas, walau pun peningkatan harga minyak mentah turut mendorong melambungnya nilai impor migas, dampaknya terhadap peningkatan nilai ekspor migas jauh lebih besar.
  2. Tim Ekonomi Melakukan Manipulasi Anggaran Untuk Menakut-nakuti Publik Tentang Dampak Kenaikan Harga Minyak Dunia terhadap Beban Subsidi APBN, Iman Sugena, Direktur Inter-CAFE, IPB mengungkapkan fakta sebagai berikut “. Pertama, tim ekonomi terlalu sering memberikan angka estimasi yang salah dan tidak realistis, misal angka-angka asumsi RAPBN-P 2005 dan RAPBN 2006 yang jauh dari kenyataan. Yang paling fatal adalah angka yang diberikan kepada Presiden oleh tim kecil dalam menghadapi krisis BBM dan nilai tukar. Hasil rumusan tim ini kemudian dibacakan kepada publik oleh Presiden, bahwa kemungkinan subsidi BBM akan meningkat menjadi Rp 138,6 triliun. Padahal, hanya beberapa minggu sebelumnya angka yang tercantum dalam nota keuangan yang dibacakan oleh Presiden di depan DPR (16/8/05) hanyalah sebesar Rp 101,5 triliun saja. Pembengkakan subsidi inilah yang menyebabkan reaksi pasar terhadap pidato Presiden menjadi sangat negatif. Rupiah dan bursa saham di hari-hari berikutnya menjadi melemah. Selain itu, sentimen negatif juga diakibatkan oleh kurang komprehensifnya rumusan tim kecil terutama bagaimana cara menanggulangi pembengkakan subsidi tersebut dalam jangka pendek ini. Dari delapan langkah yang dibacakan Presiden, tampak tak ada kejelasan tentang penanggulangan defisit anggaran. Setelah itu, angka-angka anggaran yang sama kemudian diajukan ke Panitia Anggaran DPR sebagai bahan untuk APBN Perubahan yang ketiga kalinya. Ada dua angka penting yang muncul di situ yakni; (1) subsidi membengkak menjadi Rp 138,6 triliun; dan (2) defisit membengkak menjadi Rp 48,3 triliun atau sebesar 1,8 persen dari PDB. Karena itu tim ekonomi mendesak supaya harga BBM dalam negeri segera dinaikkan. Oleh Panja kemudian ditemukan kesalahan penghitungan subsidi karena ternyata meliputi BBM industri yang sudah dilepaskan ke mekanisme pasar. Seharusnya subsidi BBM hanya Rp 113,7 triliun saja. Berarti ada selisih penghitungan sebesar Rp 24,9 triliun. Dengan demikian angka defisit seharusnya turun dari Rp 48,3 triliun menjadi hanya Rp 23,4 triliun atau 0,9 persen dari PDB. Tentu angka defisit ini (kalaupun benar ada) sangat manageable sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk menaikkan harga BBM. Kedua, tim ekonomi secara sengaja telah menggelembungkan pos anggaran lainnya (selain subsidi BBM) agar posisi anggaran tampak sangat berbahaya. Dari hasil penggelembungan tersebut, tersepakatilah angka defisit sebesar Rp 38,3 triliun (1,4 persen dari PDB) seperti yang diungkapkan oleh ketua Panitia Anggaran. Dinyatakan pula bahwa pemerintah masih kekurangan sebesar Rp 15 triliun untuk membiayai defisit (financing gap). Kalau saja tidak ada penggelembungan anggaran, defisit 0,9 persen dapat terjadi tanpa harus menaikkan harga BBM. Penggelembungan terbesar terjadi dalam belanja lain-lain sebesar Rp 12,6 triliun. Selain itu ada sekitar Rp 2,6 triliun yang belum jelas. Sisanya adalah untuk Aceh, subsidi non-BBM, dan alokasi untuk kompensasi tunai langsung kepada 15,5 juta keluarga miskin. Membengkaknya defisit bukan karena pembengkakan subsidi BBM. Kalau saja anggaran lainnya tidak dibengkakkan secara sengaja dan tentunya tidak realistis pembengkakan subsidi BBM tidak membahayakan anggaran. Tim ekonomi secara tidak jujur telah dengan sengaja menggunakan angka-angka anggaran untuk menekan DPR supaya mendukung kenaikan harga BBM.
  3. Subsisidi Langsung dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM Sangat Tidak Efektif, Pengalihan bentuk subsidi langsung dengan membagikan uang (cash transfer) kepada penduduk miskin sangat tidak efektif dan mengaburkan masalah pokok. Dua pengamat ekonomi, masing-masing Faisal Basri dan Fadhil Hasan, menilai subsidi model ini tidak akan berdampak positif bagi masyarakat. Apalagi kebijakan ini terkesan tergesa-gesa. Pasalnya, kriteria penduduk miskin dan besaran subsidi sebesar Rp 100 ribu per kepala keluarga setiap bulannya tidak realistis. "Kriteria yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik sebagai dasar perhitungan pemerintah, tidak menggambarkan kemiskinan yang sesungguhnya," jelas Faisal. Tak efektifnya subsidi langsung ini juga diungkapkan anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian, Mohammad Chatib Bisri. Menurut dia, ketidakpastian soal besaran dan waktu kenaikan harga BBM juga sebuah persoalan. Sebab, saat pemerintah mengemukakan rencana kenaikan BBM, harga sejumlah barang kebutuhan pokok di pasar terus merambat naik, sehingga berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Alokasi dana sebesar Rp. 4,5 trilyun yang dibagikan kepada 15,5 juta penduduk miskin dinilai tidak tepat dan menimbulkan banyak masalah. Pendataan penduduk miskin oleh BPS maupun perangkat desa/kelurahan tidak akurat, bahkan Menneg PPN Sri Mulyani sendiri mengoreksi bahwa dari 15,5 juta penduduk hanya 14 juta yang memnuhi kriteria penduduk miskin. Problem akurasi pendataan dan penghitungan biaya merupakan masalah klasik, yang juga terjadi pada alokasi subsidi sektor pendidikan sebesar Rp. 6,3 trilyun untuk tahun 2005 melalui BOS yang menggantikan KBBS dan BKM. Menurut Sahrizal Martha Tanjung (Kompas), penghitungan unit cost pendidikan dari Depdiknas yangberdasarkan hasil Susenas 2003 sangat jauh meleset dari kebutuhan riil, sehingga murid yang kurang mampu tidak tertolong dengan program tersebut. Program kompensasi untuk bidang kesehatan melalui Kartu Sehat juga sangat jauh dari harapan untuk menyediakan akses kesehatan bagi masyarakat miskin. Permasalahan alokasi subsidi langsung dari kompensasi pencabutan subsidi BBM pada sektor kesehatan.
  4. Program Insentif Ternyata Hanya Menguntungkan Pengusaha Besar, Seiring dengan kenaikan harga BBM tanggal 1 Oktober 2005, Pemerintah melalui Menko Bidang Perekonomian mengeluarkan Paket Insentif I dari rencana paket insentif yang akan dilakukan selama 3 kali. Paket insentif pertama ini mencakup deregulasi sektor fiskal, deregulasi sektor perdagangan, deregulasi sektor perhubungan, peningkatan pembelian harga beras dan gabah petani, dan subsidi langsung tunai kepada rakyat miskin. Dari paket tersebut, yang ditujukan kepada rakyat hanya dua item terakhir, sementara paket deregulasi fiskal dan non fiskal dinikmati kalangan industri dan perdagangan. Insentif fiskal ini hanya ditujukan untuk mengurangi biaya produksi industri sehingga tidak mem-PHK-karyawan, akan tetapi upah buruh/karyawan tidak akan dinaikkan, sehingga kesejahteraan buruh/karyawan tetap merosot akibat penurunan daya beli. Paket insentif ini tidak efektif pada usaha kecil menengah, yang tidak tergantung bahan baku impor. Industri kecil dan menengah tetap akan menerima beban kenaikan harga dan sulit untuk bertahan. Menko Perekonomian akan merencanakan tiga paket insentif, dan kecenderungan golongan pengusaha dan importir justru “menikmati” ekses kenaikan BBM dengan bermacam-macam keringanan fiskal (penurunan pajak, pembebasan bea masuk dll.) justru sangat kentara. Paket insentif ini juga akan menghapuskan 36 Perda pajak dan retribusi yang menghambat investasi, yang tentunya akan kontradiktif dengan kepentingan otonomi daerah yaitu peningkatan PAD, sehingga akan berdampak pula pada pembangunan dan peningkatan kesejahteraan penduduk daerah.Selain itu, program insentif ke petani dengan menaikkan harga pembelian beras dan gabah kontra produktif dengan rencana Menperindag Marie Pangestu untuk mengimpor 250.000 ton beras pasca kenaikan BBM, untuk menstabilkan harga beras dan mengurangi beban masyarakat (kota) yang menjadi konsumen beras.
  5. Pencabutan Subsidi BBM Bukan Satu-satunya Jalan Mencegah Kebangkrutan Ekonomi, Pendek kata, pendekatan yang dipakai pemerintah dengan menaikkan harga BBM merupakan pilihan praktis yang justru menimbulkan dampak masalah lebih banyak. Penyelesaian krisis energi dan krisis anggaran seharusnya dilakukan dengan kebijakan strategis untuk menyelesaikan akar masalah. Beberapa alternatif yang dapat diambil antara lain: 1) Mengurangi kebocoran anggaran rutin akibat korupsi, 2) Penegakan hukum dan pengawasan teritorial yang lebih ketat untuk mencegah penyelewengan dan penyelundupan, 3) Merumuskan kebijakan nasionalisasi industri minyak dalam negeri, 4) Menetapkan kebijakan transportasi hemat energi, 4) Merumuskan kebijakan yang mendorong penggunaan energi alternatif (angin, sinar matahari, gas, batu bara dll.), 6) Meminta penghapusan atau minimal moratorium hutang untuk waktu yang strategis (25-30 tahun).Kebijakan transportasi hemat energi misalnya dengan mendorong penggunaan transportasi umum dan menekan kepemilikan mobil pribadi, penerapan pajak progressif untuk kepemikikan kendaraan pribadi untuk mengurangi konsumsi BBM dari orang kaya.
  6. “Hidden Agenda” dibalik Kebijakan Kenaikan Harga BBM, yang ternyata membawa kepentingan pemodal asing dan dalam negeri yang diwakili oleh orang-orang di tim ekonomi. Kepentingan pemodal asing dari awal jelas mengarah pada liberalisasi sektor migas. Terlepas dari peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional, sesuai dengan pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas, harga BBM tahun 2005 ini memang telah dijadwalkan untuk dilepaskan ke mekanisme pasar. Ini erat kaitannya dengan telah dimilikinya izin prinsip oleh sekitar 107 pengusaha swasta asing dan domestik, untuk mengembangkan usahanya di sektor hilir industri migas di Indonesia. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, selama harga jual BBM di dalam negeri masih tetap disubsidi, “pemain asing enggan masuk.” Dengan demikian, pengaitan kemerosotan nilai tukar rupiah dengan peningkatan volume subsidi BBM, sebenarnya tidak lebih dari upaya sengaja pihak-pihak tertentu dalam mencari legitimasi untuk menuntaskan pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas. Dalam rencana liberalisasi industri hilir migas mulai Nopember 2005, Pertamina bukan lagi menjadi satu-satunya perusahaan yang menjadi distributor dan penanggungjawab pengadaan BBM dalam negeri. Perusahaan minyak asing seperti Caltex, Exxonmobile, Shell, British Petrolium, Petronas akan menjadi pengecer minyak yang menyuplai SPBU-SPBU dalam negeri. Kepentingan pemodal dalam negeri, baru terindikasi kuat dengan munculnya kebijakan insentif melalui deregulasi fiskal dan non fiskal tahap I pada 1 Oktober 2005 yang alih-alih akan menyelamatkan industri dalam negeri dan menanggulangi PHK dampak kenaikan BBM, tetapi justru akan meningkatkan rente pengusaha dan importir dari penghapusan bea masuk beberapa barang modal dan barang konsumsi salam negeri, keringanan pajak dll. Kenyataan seperti ini menguatkan argumentasi bahwa kepentingan pengusaha, yang direpresentasikan oleh KADIN, Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla justru memancing ikan di air keruh melalui isu kenaikan harga BBM yang dikait-kaitkan dengan defisit anggaran akibat naiknya kurs US$ dan kenaikan harga minyak mentah dunia.[]

Makalah ini disampaikan dalam diskusi Kenaikan Harga BBM yang diselenggarakan oleh BEM FE Unsoed tanggal 7 Oktober 2005.

Kepustakaan:
Anonimus, “MenolakPencabutan Subsidi BBM” Untuk Orang Awam: Fakta Penting Untuk Menolak Pencabutan Subsidi BBM
Anonimus, “Paket Solusi” SBY Memperparah Krisis, Briefing Paper JATAM 16 September 2005.
Anonimus, Memberi Rp. 100 ribu, Berbohong Banyak, JATAM 26 September 2005.
Anonimus, Satu Musuh Bagi Petani, Nelayan, Buruh dan Kaum Miskin Kota
Anonimus, Sebab-sebab Kemerosotan Ekonomi, Krisis Enerji dan Kejatuhan Rupiah Serta Jalan Keluarnya, KPP-PRD
Drs. Revrisond Baswir, Akt, MBA, Mengapa Masyarakat (Wajib) Menolak kenaikan Harga BBM, Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM
Drs. Revrisond Baswir, Akt, MBA, Rahasia Kenaikan Harga BBM, Republika Online 26 September 2005, www.republika.co.id.
Iman Sugena, Subsidi BBM dan Kejujuran Anggaran, Republika Online 19 September 2005, www.republika.co.id.
Iwan Santosa, Revolusi Energi atau Mati, Kompas 24 September 2004
Kwiek Kian Gie, Kebijakan BBM Liberal Mutlak
Kwiek Kian Gie, Terjajah ExxonMobil di Cepu
Rohendi, BOS Datang, Sekolah Gartiskah?, Kompas 26 September 2005.
Umar Juoro, Kebijaksanaan Sepihak, Republika Online 03 Oktober 2005, www.republika.co.id.
Willy Aditya, Berenang-renang di Batang Minyak: Catatan Kritis Tentang Kenaikan Harga BBM, Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja
Pemerintah Keterlaluan: Kenaikan Harga BBM Melampaui Kemampuan Masyarakat, berita pada Harian Kompas
Asumsi RAPBN 2006 Disepakati, Kompas 27 September 2005.
Pemerintah Janjikan Kompensasi Bagi Industri, berita pada Harian Kompas
Disiapkan Paket Insentif Tahap II, berita pada Harian Kompas

Tidak ada komentar: