8.2.07

Ekonomi Kerakyatan dan Gagalnya Pembangunan Koperasi di Indonesia

Ekonomi Kerakyatan merupakan konsepsi ekonomi yang digulirkan sejak era pra kemerdekaan sebagai antitesis ekonomi kolonialis-kapitalis. Makna kerakyatan disini adalah menempatkan rakyat sebagai konsepsi politis, bukan konsep aritmatis statistik belaka yang bisa berarti siapa saja dapat dikategorikan sebagai rakyat. Rakyat di sini mengandung arti kolektifitas dari kepentingan orang banyak (public needs), bukan kepentingan orang per orang dan bukan akumulasi dari preferensi atau kepentingan individu-individu, melainkan preferensi sosial yang relevan dengan hajat hidup orang banyak. Ekonomi kerakyatan mengandung makna bahwa sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya penguatan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak yang bersumber pada kedaulatan rakyat. Ekonomi kerakyatan harus ditopang dari bawah, dimana rakyat secara partisipatif memiliki kesempatan aktif dalam kegiatan ekonomi yang dapat menghidupi diri sendiri (self sufficient), membangun dirinya sendiri (self-empowering), bersumber dari rakyat dan dikelola oleh rakyat atau masyarakat sendiri untuk meraih nilai tambah ekonomi dan nilai tambah sosial.

Sejalan dengan hal tersebut, konsep pengembangan ekonomi berbasis komunitas (community based economic development), merupakan salah satu metode dan strategi yang digunakan dalam penguatan ekonomi masyarakat (community economic empowerment) dalam perlawanan terhadap dominasi korporasi dan ekonomi pasar bebas yang berpaham individualis, eksploitatif, dan bertumpu pada kekuatan modal. Model ini menitikberatkan pembangunan ekonomi dengan mengoptimalkan sumber daya lokal yang dikelola secara kolektif yakni bertumpu pada kekuatan anggota komunitas dengan asas mutualisme dan kekeluargan (brotherhood). Manifestasi kerangka konseptualnya ke dalam bentuk kelembagaan ekonomi yang lebih teknis dan operasional menemukan format yang sesuai pada koperasi sebagai media dan alat perjuangan ekonomi berbasis masyarakat. 

Satu hal yang menjadi ironi, sejarah dan perkembangan koperasi di Indonesia menunjukkan gambaran yang tidak menggembirakan. Sejarah mencatat bahwa pada mulanya ideologi “ko-operatif” ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan perlawanan melalui mata tombak ekonomi untuk menghadapi penghisapan sumber-sumber perekonomian dan peminggiran peran ekonomi rakyat. Gerakan tersebut dijalankan dengan membentuk lembaga-lembaga ekonomi kolektif rakyat untuk menolong dirinya sendiri (self help), misalnya lahirnya Hulp And Spark Bank yang dirintis oleh RA. Wirjaatmadja di Purwokerto. Memasuki era Pasca Kemerdekaan dan Orde Lama, ekonomi populisme (sosialisme Indonesia) menjadi falsafah dan ideologi dasar pembangunan yang dicanangkan oleh para founding fathers negeri ini. Pada saat itu koperasi mendapatkan tempat yang terhormat dengan pencantuman dan penegasan di dalam UUD 1945 bahwa koperasi menjadi satu-satunya lembaga ekonomi yang sesuai asas perekonomian negara. Koperasi didorong sebagai “soko guru perekonomian” Indonesia, dimana perekonomian diharapkan tumbuh dari bawah dengan kekuatan sendiri. 

Sayangnya kondisi sosial politik tidak kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, dan pembangunan koperasi berbasis rakyat tidak berjalan. Selanjutnya pada era Orde Baru, dimana perekonomian dimaknai dengan memacu pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi berbagai sektor yang mengacu pada model ekonomi pembangunan berdasar pada paham ekonomi neo-klasik (Keynesian) dan teori tahapan pembangunan Rostow, koperasi justru mengalami pergeseran nilai dan hakikatnya. Sistem pemerintahan dan tatanan politik Orde Baru yang sentralisitik memanfaatkan koperasi sebagai alat kepentingan politik untuk menancapkan kuku pengaruh kekuasaan sampai level masyarakat paling bawah. Koperasi didorong kuat oleh kebijakan politik, sehingga sangat struktural dan mengalir dari atas ke bawah (top down). Dalam ranah politik hukum, UU No. 1967 tentang Koperasi dan perubahannya menjadi UU No 25 tahun 1992 dibangun atas persepsi yang keliru tentang koperasi. Pemerintah melalui Inpres No. 4 tahun 1984 mendorong Koperasi Unit Desa (KUD) yang sangat instan, politis, dan tidak memberdayakan dari bawah sesuai potensi masing-masing wilayah. Kegagalan KUD yang melancarkan “pemaksaan kredit-kredit pertanian”, lemah manajemen, birokratis dan sarat korupsi mengakibatkan stigma buruk terhadap koperasi, bahkan potret koperasi menjadi simbol kegagalan pembangunan. 

Pada tingkatan basis, masyarakat menjadi trauma, pesimis, dan apatis terhadap wacana koperasi. Memasuki era Pasca Orde Baru, wacana ekonomi kerakyatan kembali tampil ke permukaan tetapi hanya menjadi jargon politik, menjadi retorika program pembangunan, yang sayangnya hakikatnya menjadi bias dalam implementasi. Sektor ekonomi rakyat, Usaha Kecil Menengah (UKM), dan koperasi menjadi simbol pembangunan ekonomi berbasis masyarakat dan didorong dengan proyek-proyek melalui pemerintah dan NGO. Tak pelak, “ekonomi kerakyatan” juga sempat menjadi komoditas politik, dan proyek pengembangan UMKM dijadikan kendaraan politik untuk memuluskan kepentingan meraih kursi kekuasaan. Akibatnya juga fatal, dimana institusi ekonomi rakyat dimanjakan dengan bantuan-bantuan sehingga muncul ketergantungan (dependensi) dan tidak didorong untuk menjadi institusi yang mandiri. Banyaknya bantuan yang disalurkan ke koperasi atau melalui pembentukan kelompok ekonomi menyebabkan pemahaman masyarakat yang semakin keliru terhadap koperasi. Saat ini kondisinya semakin parah. Gelontoran dana hutang dari lembaga keuangan asing, ADB dan World Bank yang disalurkan melalui proyek Bappenas seperti P2KP di perkotaan, dan Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK) di wilayah pedesaan dilandasi persepsi keliru tentang pembangunan ekonomi kerakyatan. 

Dana proyek dijejalkan paksa ke masyarakat dengan skema super instan, yang akhirnya justru mendekonstruksi moral masyarakat, membuat tidak swadaya, membuat masyarakat individualis dan kompetitif, dan merusak tatanan sosial. Pihak-pihak yang terlibat dalam proyek-proyek tersebut, baik pemerintah maupun NGO bukannya tidak tahu akan hal itu. Namun karena mereka memiliki kepentingan rente proyek, dan kuatnya tancapan kuku neoliberalis pada penguasa saat ini membuat siklus ini tidak berhenti, namun justru semakin membesar. Hasilnya pun bisa dilihat, besarnya kucuran hutang tidak merubah kondisi perekonomian yang melemah, justru memperburuk. Percaya pada kekuatan sendiri adalah kunci. Kembali ke hakikat ekonomi berdasarkan jati diri bangsa adalah pilihan pasti. Ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada kekuatan rakyat sendiri adalah keniscayaan untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis ekonomi yang semakin akut. Namun dengan karut marutnya pengelolaan negara oleh penguasa yang semakin tunduk pada neoliberalisme, apakah rakyat mandiri dan berdaulat dalam produksi akan tetap menjadi utopi? []

Kepustakaan:
Ibnu Sudjono, makalah berjudul “Pembaharuan Undang-undang Perkoperasian untuk Menopang Ekonomi Kerakyatan” Sri Edi-Swasono, makalah berjudul “Koperasi sebagai Ideologi Kerakyatan dan Kekuatan Ekonomi Nasional”

Tidak ada komentar: