2.10.07

Jalan Pemiskinan Rakyat: Mundurnya Pembangunan Pertanian Banyumas

Kabupaten Banyumas memiliki luas wilayah 132.759 Ha atau 4,08 % dari luas Propinsi Jawa Tengah terletak di bagian selatan pada posisi geografis diantara 1090 dan 1090 30’’ Garis Bujur Timur dan 70 30’’ Garis Lintang Selatan. Data pada tahun 2004, dari luas sejumlah tersebut, terbagi menjadi lahan sawah sekitar 32.784 Ha atau 24,69 % dan 10.308 Ha sawah dengan pengairan teknis. Sedangkan sisanya 99.691 Ha atau 75,09 % merupakan lahan bukan sawah dengan 19.522 Ha merupakan tanah untuk bangunan dan pekarangan. Perubahan status lahan sawah menjadi lahan non sawah dalam periode lima tahun (1997-2001) mencatat sebanyak 863,6 Ha lahan sawah berubah fungsi, terutama menjadi daerah pemukiman. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk termasuk pendatang dari luar wilayah Kabupaten Banyumas. Jumlah penduduk Kabupaten Banyumas pada akhir tahun 2004 tercatat sebesar 1.538.285 jiwa (pertumbuhan menurun 0,15 % dibanding tahun 2003), dengan kepadatan penduduk mencapai 1.159 jiwa/km2. Jumlah rumahtangga pada akhir tahun 2004 sebesar 409.631, dengan rata-rata jiwa per rumah tangga sekitar 3-4 jiwa. Jika dilihat berdasarkan kelompok umur, maka penduduknya tergolong penduduk usia muda dengan rsio jenis kelamin rata-rata 99,7 pada tahun 2004. Jumlah penduduk Banyumas sebagian besar menempati daerah pedesaan yang bertumpu pada sektor pertanian sebagai sektor utama, dengan demikian, wilayah Kabupaten banyumas merupakan salah satu daerah agraris.

Struktur ekonomi Kabupaten Banyumas selama lima tahun terakhir tahun 2000-2004 relatif tidak mengalami perubahan. Perekonomian Kabupaten Banyumas masih didominasi oleh empat sektor yang memberikan kontribusi di atas 10 % terhadap PDRB. Keempat sektor tersebut adalah sektor Pertanian, Industri, Jasa-jasa, dan sektor Perdagangan. Dilihat dari sumbangannya terhadap PDRB tahun 2004, berdasarkan urutan besarnya sumbangan adalah sebagai berikut: sektor Pertanian menyumbang 24,28 %, diikuti oleh sektor Industri dengan sumbangan 18,64 %, sektor Jasa-jasa menyumbang 17,07 %, dan sektor Perdagangan menyumbang 14,51 %. Sektor Pertanian masih memberikan sumbangan terbesar terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) namun melihat data time series selama beberapa tahun terakhir kecenderungannya menurun terus. Perkembangan negatif sektor pertanian merupakan akibat dari kebijakan pembangunan yang menganaktirikan sektor pertanian dan melihat potensi ekonomi hanya dari sektor industri dan jasa. Pendapat tersebut tercermin dari dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas 2006 yang menyebutkan bahwa berkurangnya kontribusi sektor-sektor primer (pertanian) terhadap PDRB menunjukkan bahwa struktur ekonomi di Kabupaten Banyumas mulai bergeser dari perekonomian agraris menjadi industri dan jasa. 

Argumen tersebut sangat mudah terbantahkan apabila kita menganalisis lebih dalam dan melihat fakta yang sebenarnya terjadi. Penurunan tersebut bukan karena ada konversi yang simultan dari sektor pertanian ke industri dan jasa, karena data-data menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor industri dan jasa juga tidak signifikan, bahkan cenderung stagnan. Penurunan tersebut lebih dikarenakan sektor pertanian tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, dengan demikian penurunan sektor pertanian menunjukkan kegagalan pembangunan dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Kesalahan paradigmatik juga dilakukan oleh perencana dan pelaksana pembangunan dengan melihat potensi pembangunan wilayah Banyumas bukan di sektor agrarisnya, padahal kondisi alam, lingkungan, sosial budaya dan ekonomi berdasarkan data yang telah disebutkan nyata-nyata menunjukkan bahwa potensi dan daya dukung pembangunan yang dimilikinya menunjang sektor agraria. Praktek pembangunan yang dijalankan hanya berdasarkan tren industrialisasi yang berbasis pada investasi non pertanian, hal ini kemudian menyebabkan banyak potensi sumber daya alam yang tidak termanfaatkan secara optimal dan terdistribusi dengan baik untuk mensejahterakan rakyat. Praktek tersebut bertolak belakang dengan rumusan arah kebijakan dan strategi pembangunan bidang ekonomi yang dirumuskan pemerintah dalam Program Pembangunan Daerah (Propeda) tahiun 2002-2006. Pada akhirnya pemerintah mengkoreksi pendapat tersebut dengan menyebutkan bahwa kebijakan pembangunan tahun 2007 diharapkan dapat mengurangi penurunan kontribusi sektor pertanian melalui upaya-upaya yang mengarah pada agroindustri dan agrobisnis. 

Sektor pertanian merupakan sektor utama perekonomian daerah, dan mayoritas penduduk Banyumas adalah petani, namun kondisi perekonomian masyarakat petani masih jauh dari kesejahteraan. Rendahnya nilai tukar hasil produksi pertanian, tingginya biaya produksi, kebijakan yang masih menghambat akses dan kontrol terhadap sumber daya agraria, dan minimnya pembangunan infrastruktur pertanian menyebabkan perekonomian pertanian tidak berkembang. Perubahan budaya pertanian akibat revolusi hijau telah menyebabkan petani terjerumus pada siklus produksi yang inefisien, instan, dan sangat tergantung pada masukan (input) luar. Hingga saat ini, program pemerintah daerah untuk menyelamatkan sektor pertanian masih anomali. Di satu sisi gerakan ketahanan pangan digalakkan, pertanian organik dikampanyekan, namun di lain sisi, anggaran pembangunan untuk pembiayaan sektor pertanian tidak diutamakan. Pembangunan daerah cenderung lebih banyak mengutamakan "make up" perwajahan kota. Saluran irigasi yang rusak kurang menjadi perhatian, dan penggusuran lahan pertanian menjadi tontonan sehari-hari. 

Persoalan pertanian bukan hanya konsumsi masyarakat pedesaan, namun juga masyarakat kota. Kota Purwokerto merupakan kota yang unik, dilihat dari struktur penduduk dan komposisi pemanfaatan lahan, persentase penduduk petani dan lahan pertanian di daerah urban cukup tinggi. Konversi lahan pertanian menjadi fasilitas jasa dan perdagangan bagi masyarakat kecil akan menyebabkan penurunan kesempatan kerja di bidang pertanian yang tidak diimbangi perluasan kesempatan kerja sektor lain, karena serapan sektor pertanian baik langsung maupun tidak langsung lebih besar. Pemerintah dan publik memandang pesatnya perkembangan kota sebagai pertumbuhan ekonomi daerah yang baik, namun dibalik itu terjadi pula penghancuran basis perekonomian masyarakat kecil di kota, sektor pertanian urban. 

Kesadaran masyarakat Purwokerto sudah tergiring bahwa pekembangan ekonomi sudah terlihat dengan tumbuhnya mall dan menjamurnya bank. Publik Purwokerto juga mungkin akan malu jika harus menyandang sebagai warga kota pertanian, sehingga rusaknya sistem irigasi urban hanya sayup-sayup terdengar, kolam ikan dan sawah yang mengering menjadi hal yang lumrah. Persoalan tersebut tidak akan berhenti jika seluruh masyarakat Banyumas belum sadar, bahwa pertanian adalah urat nadi perekonomian Banyumas. Bahwa Banyumas secara geografis dan sosiologis adalah daerah agraris, dimana potensi alam dan sosialnya adalah untuk pertanian. Berubah menjadi daerah industri dan jasa bukan jalan tepat bagi kemakmuran rakyat banyak di Banyumas, menjadi daerah pertanian yang maju dan unggul adalah fitrahnya. Mari selamatkan pertanian Banyumas.[]