26.8.22

Naiknya Harga Telur: Antara Berita dan Derita

Mas Aji, penjual nasi goreng yang mangkal di seberang POM Bensin Kajen, Lebaksiu tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. “Harga telur naik nya ngga ketulungan Mas, di pasar sudah 31 sampai 32 ribu per kilo. Sudah seminggu ini, ini harga paling mahal selama ini. Padahal harga-harga bahan lain juga sudah naik”, keluhnya. Soal harga telur yang meroket ini memang meresahkan masyarakat, terutama para pelaku usaha kecil yang membutuhkan telur sebagai bahan baku. Tak pelak, isu harga telur ini pun menjadi menjadi perhatian pemerintah. Mengutip berita Tempo.co pada Rabu, 24 Agustus 2022, ihwal kenaikan harta telur di pasar sampai ditanyakan Presiden ke Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Untuk mengatasi hal ini, Mendag akan memanggil pelaku usaha sektor petelur skala besar atau integrator yang memang bisa mempengaruhi harga di pasaran, dan  optimistis harga telur akan bergerak turun dalam tiga minggu hingga satu bulan mendatang. Lebih lanjut, menurut pengusaha, pemicu kenaikan harga telur ayam adalah akibat kenaikan permintaan pasar, ditambah lagi ada rencana penyaluran bantuan sosial atau bansos.

Penyaluran bansos menjadi “kambing hitam” karena diasumsikan bahwa penerima dana bansos menggunakan uang bantuan tersebut untuk mebeli bahan pokok berupa telur. Asumsi ini perlu dipertanyakan karena skema pencairan bansos “non tunai” prakteknya telah berubah. Awalnya skema Bantuan Sosial Pangan Non Tunai (BPNT) yang disalurkan Kementerian Sosial berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) berupa  Kartu Sembako senilai Rp.200.000,00 yang hanya bisa ditukarkan dengan beras atau telur di e-Warong. Namun, karena terjadi banyak penyimpangan, pemerintah menghentikan model penukaran Kartu Sembako dengan sembako di E-Warong dan kembali menyalurkan secara tunai melalui Kantor Pos. Ketika menerima tunai, penerima bantuan sosial bebas menggunakan untuk keperluan apa saja. Untuk membayar hutang, biaya sekolah atau beli rokok sekalipun. Tidak ada paksaan atau keharusan untuk menukarkan dengan beras atau telur.

Data BPS pusat menunjukkan bahwa produksi telur dari ayam petelur nasional tahun 2020-2021 cenderung stagnan. Jumlah produksi telur tahun 2021 sebanyak  5.155.998 ton, meningkat sedikit hanya 0,28 persen sebesar 1.428 ton dari produksi tahun 2020 sebanyak  5.141.570 ton. Mari kita lihat konteks Kabupaten Tegal. Menilik data BPS Kabupaten Tegal, produksi telur ayam ras Kabupaten Tegal pada tahun 2021 menurun sebesar 14,5 persen dari produksi tahun 2020. Pada tahun 2021, produksi telur sebanyak  6.674.228 kg, menurun 1.131.741 kg dari produksi tahun 2020 sebanyak  7.805.969 kg. Dari sisi konsumsi, data menunjukkan terjadi juga tren penurunan konsumsi telur di Kabupaten Tegal. Konsumsi telur per kapita pertahun pada tahun 2021 sebesar 5, 71 kg/kapita /tahun, menurun dari 6,02 kg/kapita /tahun di tahun 2020 dan 2019, meskipun konsumsi protein hewani  meningkat yang ditopang kenaikan konsumsi daging.

Meskipun di Kabupaten Tegal sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menyumbang 13 persen PDRB tahun 2021, perhatian pemerintah untuk sektor strategis ini tidak cukup serius. Data BPS tahun 2020-2021 memang menunjukkan terjadinya peningkatan laju pertumbuhan PDRB sektor ini dari  2,18 pada tahun 2020 menjadi 2,80 pada tahun 2021, namun jika dilihat lebih dalam terdapat  tren penurunan produksi komoditas pada  banyak sub sektor, baik hortikultura, tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan. Untuk sub sektor hotikultura, penurunan terjadi pada sebagian besar komoditas seperti bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, dan wortel. Untuk sub sektor tanaman pangan penurunan terjadi pada komoditas palawija. Untuk sub sektor perikanan penurunan terjadi pada perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Untuk sub sektor peternakan, penurunan terjadi pada komoditas telur dan susu. Untuk sub sektor perkebunan, penurunan terjadi pada komoditas kelapa, kopi, kakao, dan tebu.

Atas persoalan penurunan produktifitas komoditas tersebut, tidak ada respon berupa aksi yang cukup serius dan nyata, bahkan untuk membedah persoalan tersebut cukup mendalam melibatkan banyak pihak pun hampir tidak dilakukan. Terlebih, ruang fiskal yang semakin sempit pada APBD menyebabkan porsi anggaran untuk pelaksanaan urusan pilihan semakin rendah. Sektor pertanian memang sektor yang auto pilot, pelaku usaha berjuang menyelesaikan masalahnya sendiri. Sudah tidak ada proteksi, dan minim fasilitasi. Kembali ke persoalan telur. Penurunan produksi telur yang sangat tinggi hingga 14,5 persen di Kabupaten Tegal  menjadi kekhawatiran sendiri. Telur merupakan sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat, dan menjadi bahan baku penting  pada banyak sekali produk usaha kecil. Kita bisa melihat betapa banyak gerobak usaha kecil yang menggunakan bahan baku telur, mungkin paling banyak jumlah dan variasinya dibandingkan bahan protein lain seperti daging sapi dan ayam. Sebut saja martabak, crepes, nasi goreng, telur gulung, seblak, roti, warteg dan masih banyak lagi. Jika permintaan komoditas telur tidak bisa dicukupi dengan suplai produksi, maka kenaikan harga telur niscaya tak bisa dielak. Bayangkan, betapa banyak pelaku usaha kecil yang terdampak.

Maka, jika memang kenaikan harga telur dipicu karena tingginya permintaan yang tak sebanding dengan pasokan sebagaimana diungkapkan oleh pengusaha besar, janji Mendag untuk menurunkan harga telur dalam tempo yang sesingkat-singkatnya seperti mimpi di siang bolong. Jangan-jangan persolan harga telur bukan persoalan di sektor perdagangan, namun persoalan sektor pertanian. Jangan-jangan kenaikan harga telur akibat kenaikan harga pakan yang masih tergantung impor. Atau, jangan-jangan Mendag tahu memang ada masalah di tata niaga dan ada pelaku pasar besar yang sedang memainkan harga. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya ada di kepala saya, tidak di kepala Mas Aji. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana bisa bertahan di situasi sulit ini. “Saya ngga bisa naikkan harga Mas, biar untung tipis aja yang penting bertahan. Sekarang aja omzet sudah turun, pembeli berkurang. Kalau harga penjual lain masih tetap ya saya juga tetap, kalau saya naikkan harga sendiri bisa-bisa saya yang tutup duluan…” kilahnya ketika ditanya apakah ada rencana menaikkan harga. 

Dan mie rebus yang saya pesan pus habis tersantap. Tiba waktu membayar, cukup 13 ribu rupiah yang saya keluarkan dari kantong, masih harga yang sama seperti lebih dari 3 tahun lalu seingat saya. Ah…, kenaikan harga telur mungkin bagi saya hanya jadi sekedar data dan berita, tetapi bagi Mas Aji dan pelaku usaha kecil lain, hal ini menjadi beban derita. Semangat Mas, tetap jalani ikhtiarnya. Gusti Awoh mboten sare. []