Mas Aji, penjual nasi goreng yang mangkal di seberang POM Bensin Kajen, Lebaksiu tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. “Harga telur naik nya ngga ketulungan Mas, di pasar sudah 31 sampai 32 ribu per kilo. Sudah seminggu ini, ini harga paling mahal selama ini. Padahal harga-harga bahan lain juga sudah naik”, keluhnya. Soal harga telur yang meroket ini memang meresahkan masyarakat, terutama para pelaku usaha kecil yang membutuhkan telur sebagai bahan baku. Tak pelak, isu harga telur ini pun menjadi menjadi perhatian pemerintah. Mengutip berita Tempo.co pada Rabu, 24 Agustus 2022, ihwal kenaikan harta telur di pasar sampai ditanyakan Presiden ke Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Untuk mengatasi hal ini, Mendag akan memanggil pelaku usaha sektor petelur skala besar atau integrator yang memang bisa mempengaruhi harga di pasaran, dan optimistis harga telur akan bergerak turun dalam tiga minggu hingga satu bulan mendatang. Lebih lanjut, menurut pengusaha, pemicu kenaikan harga telur ayam adalah akibat kenaikan permintaan pasar, ditambah lagi ada rencana penyaluran bantuan sosial atau bansos.
~Gemi Nastiti Ati-ati~
Akhmad Solehudin's Rural Economic Development Archieves
26.8.22
4.10.07
Kebijakan Daerah versus Kedaulatan Ekonomi Desa; Tinjauan Praktek Revitalisasi Pertanian di Banyumas
Pada tanggal 11 Juni 2005, Presiden SBY mencanangkan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Program ini merupakan salah satu “Triple Track Strategy” Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Target penurunan kemiskinan dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2% tahun 2009 dan penurunan pengangguran terbuka dari 9,7 % tahun 2004 menjadi 5,1 % tahun 2009, mengharuskan dilakukannya berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapai antara lain pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6,6 % per tahun. Di samping itu rasio investasi terhadap GDP harus naik dari 16,0 % pada tahun 2004 menjadi 24,4 % pada tahun 2009; dan rata-rata pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan mencapai 3,5 % per tahun. Penyusunan program ini diserahkan kepada Menko Perekonomian sebagai koordinatornya.
2.10.07
Jalan Pemiskinan Rakyat: Mundurnya Pembangunan Pertanian Banyumas
Kabupaten Banyumas memiliki luas wilayah 132.759 Ha atau 4,08 % dari luas Propinsi Jawa Tengah terletak di bagian selatan pada posisi geografis diantara 1090 dan 1090 30’’ Garis Bujur Timur dan 70 30’’ Garis Lintang Selatan. Data pada tahun 2004, dari luas sejumlah tersebut, terbagi menjadi lahan sawah sekitar 32.784 Ha atau 24,69 % dan 10.308 Ha sawah dengan pengairan teknis. Sedangkan sisanya 99.691 Ha atau 75,09 % merupakan lahan bukan sawah dengan 19.522 Ha merupakan tanah untuk bangunan dan pekarangan. Perubahan status lahan sawah menjadi lahan non sawah dalam periode lima tahun (1997-2001) mencatat sebanyak 863,6 Ha lahan sawah berubah fungsi, terutama menjadi daerah pemukiman. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk termasuk pendatang dari luar wilayah Kabupaten Banyumas. Jumlah penduduk Kabupaten Banyumas pada akhir tahun 2004 tercatat sebesar 1.538.285 jiwa (pertumbuhan menurun 0,15 % dibanding tahun 2003), dengan kepadatan penduduk mencapai 1.159 jiwa/km2. Jumlah rumahtangga pada akhir tahun 2004 sebesar 409.631, dengan rata-rata jiwa per rumah tangga sekitar 3-4 jiwa. Jika dilihat berdasarkan kelompok umur, maka penduduknya tergolong penduduk usia muda dengan rsio jenis kelamin rata-rata 99,7 pada tahun 2004. Jumlah penduduk Banyumas sebagian besar menempati daerah pedesaan yang bertumpu pada sektor pertanian sebagai sektor utama, dengan demikian, wilayah Kabupaten banyumas merupakan salah satu daerah agraris.
19.2.07
Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan; Perlawanan terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian
Pertanian sebagai basis ekonomi kerakyatan dan merupakan sektor yang melibatkan sebagian besar penduduk Indonesia terus mendapatkan ancaman dan permasalahan baik dari dalam maupun luar. Marginalisasi sektor pertanian rakyat, dengan mulai mendominasinya pertanian korporasi (corporate farming) dan ancaman ketersingkiran petani kecil pedesaan dengan adanya globalisasi pasar bebas Neo Liberalisme melalui kesepakatan Agreement on Agriculture (AoA) merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Pemerintah hingga saat ini belum memihak petani kecil dengan memberikan kebijakan proteksi dan subsidi yang cukup dapat melindungi mereka dari ancaman pasar bebas, dimana produk-produk pertanian dari negara lain dapat bebas masuk dan menggusur. Jika hal ini terus dibiarkan, kebangkrutan ekonomi pertanian rakyat dan hilangnya kedaulatan produksi pangan merupakan resiko besar yang terpampang di depan mata.
Praktek Ijon, Pola Lama yang Masih Berkembang dalam Perdagangan Produk Pertanian Rakyat
Pak Kartawiraji (61 th) duduk termangu di gubug kecil di tengah ladangnya, pandangannya menyapu lembah. Ubi goreng dan teh "tubruk" yang dibekali istrinya tinggal sisa-sisa. Sore itu di ladangnya yang berada di lereng bukit berkumpul banyak orang di bawah pepohonan duku. Beberapa orang terlihat sedang memetik buah duku, sementara anak-anak kecil berkerumun di bawah memandang ke atas, mengikuti gerak orang yang berada di atas ranting. Nampaknya mereka tengah asyik menanti jatuhnya buah duku yang diambil dari para pemanen di atas, jika terdapat buah duku yang jatuh, akan diperebutkan beramai-ramai. “Sedang menunggu juragan selesai memanen.., mau minta sedikit untuk cucu …” gumam Pak Karta. Ternyata lima pohon duku miliknya sudah dibeli juragan sejak masih berbunga, atau dengan kata lain sudah diijonkan, sehingga dia dan keluarganya tak bisa puas menikmati hasil kebunnya sendiri. Untuk bisa menikmati hasil kebun, dia harus meminta kepada juragan, karena hasil panen itu sudah bukan menjadi haknya lagi. Walaupun sudah bukan menjadi haknya sejak tanaman berbunga, Pak Karta merasa bertanggungjawab untuk menjaga keutuhan dan memelihara tanaman yang berbuah sampai masanya dipetik, karena untuk itu dia sudah dibayar.
Mengkritisi Kebijakan Pencabutan Subsidi BBM
Memahami konteks munculnya kebijakan pencabutan subsidi BBM
Kenaikan harga BBM selalu menjadi perdebatan, pro dan kontra. Pemerintah merasa kebijakan subsidi BBM semakin membebani anggaran dan harus dikurangi secara bertahap, sementara di lain pihak, banyak yang menganggap subsidi BBM adalah kebijakan yang mendasar, sesuai amanat Undang-Undang, karena Indonesia bukanlah negara ekonomi liberal. Ada beberapa hal yang perlu kita pahami dahulu terkait rencana pemerintah untuk mencabut subsidi BBM.
Pertama, situasi ekonomi politik dunia, dimana terdapat fenomena nyata bahwa neo liberalisme yang semakin kuat. Indikasinya adalah kebijakan-kebijakan ekonomi dunia sangat dipengaruhi oleh IMF, WB, dan WTO. Setiap negara (yang lemah posisi tawarnya) dipaksa untuk meratifikasi dan menerapkan kebijakan liberalisasi perekonomian, termasuk Indonesia yang posisi tawarnya sangat lemah karena jeratan hutang luar negeri. Kedua, terikatnya Indonesia dengan perjanjian-perjanjian global (seperti SAP WB, LoI IMF, Infrastructure Summit dll.), yang mengharuskan pemerintah untuk membuka pintu selebar-lebarnya untuk ekonomi pasar bebas, didukung dengan persiapan perangkat-perangkatnya.
8.2.07
Ekonomi Kerakyatan dan Gagalnya Pembangunan Koperasi di Indonesia
Ekonomi Kerakyatan merupakan konsepsi ekonomi yang digulirkan sejak era pra kemerdekaan sebagai antitesis ekonomi kolonialis-kapitalis. Makna kerakyatan disini adalah menempatkan rakyat sebagai konsepsi politis, bukan konsep aritmatis statistik belaka yang bisa berarti siapa saja dapat dikategorikan sebagai rakyat. Rakyat di sini mengandung arti kolektifitas dari kepentingan orang banyak (public needs), bukan kepentingan orang per orang dan bukan akumulasi dari preferensi atau kepentingan individu-individu, melainkan preferensi sosial yang relevan dengan hajat hidup orang banyak. Ekonomi kerakyatan mengandung makna bahwa sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya penguatan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak yang bersumber pada kedaulatan rakyat. Ekonomi kerakyatan harus ditopang dari bawah, dimana rakyat secara partisipatif memiliki kesempatan aktif dalam kegiatan ekonomi yang dapat menghidupi diri sendiri (self sufficient), membangun dirinya sendiri (self-empowering), bersumber dari rakyat dan dikelola oleh rakyat atau masyarakat sendiri untuk meraih nilai tambah ekonomi dan nilai tambah sosial.